Aku Mengenal Drama

Pada suatu malam yang sunyi, ditemani angin malam, ditemani jajan-jajanan. Aku masih duduk membaca komik anak yang tak kuingat judulnya. Menurutku, itu komik yang sangat seru untuk dibaca, sambil ditemani jajanan malam itu, kebetulan malam itu ada pasar malam. Ibu membeli martabak manis dan beberapa buah-buahan. Aku masih asyik membaca komik sambil terbata-bata, seingatku waktu itu aku belum begitu lancar membaca. Tak lupa, setelahnya aku makan sedikit agar perut tidak kosong.

Ini adalah cerita tentang diriku dan pengalamanku. Aku akan coba menceritakannya. Baiklah, akan ku lanjutkan bercerita. Setelah selesai makan malam itu, tak lama kemudian datanglah bang Beni ke rumah, ia hendak mengajakku. Ternyata ia mengajakku menonton layar tancap, begitulah sebutannya.

“Yan, pergi nonton layar tancap yoo!” ujar bang Beni. Orang-orang dekatku memang memanggil dengan nama Rian, bukan Agus. Karena dari kecil mereka sudah memanggil dengan nama itu.

“Nonton layar tancap? Di mana bang? Jawabku sambil berangkat dari duduk.

“Ada kok, tempatnya juga gak jauh dari sini. Di dekat lapangan badminton lho” sambung bang Beni.

“Wahhh, seru nih. Kalo gitu tunggu sebentar bang,” ucapku sambil mengambil jaket, karena ku tahu pasti hari sangat dingin. Setelah itu, pergi lah kami ke lokasi yang dimaksud.

Tak sampai lima menit, sampailah kami di lokasi tempat menonton layar tancap. Tempatnya memang tak begitu jauh dari rumah. Orang-orang pun sudah ramai di sana. Suara jangkrik nyaring terdengar di telinga, begitu pula dengan suara katak yang sedikit jauh berada di belakang layar. Nonton layar tancap bisa dikatakan sebagai drama film yang pertama kali aku lihat. Namun, sayangnya aku tak begitu ingat film (judulnya) apa yang saat itu aku tonton bersama yang lainnya. Seingatku, saat itu layar tancap masih hitam putih, tetapi juga mungkin dapat dikatakan sudah berwarna. Aku memang tak begitu ingat, kejadiannya sudah sangat lama sekali. Kejadiannya saat aku masih SD.

Film layar tancap itu habis setelah satu jam lebih kami menontonnya. Orang-orang mulai beranjak dari duduknya setelah film habis. Kami yang melihat film sudah habis dan orang-orang juga mulai beranjak pulang, kami pun ikut pulang.

“Bang, yo pulang, film udah selesai, ini juga udah sepi.” Ujarku sambing mengantuk.

“O iyaa, udah sepi, hihihihi.”

“Kalo gitu, yok kita pulang.” Jawab bang Beni yang kelihatan sudah mengantuk juga.

“Ayo lah bang, aku juga dah ngantuk” ucapku sambil menahan rasa kantuk.

Kami berdua pun pulang. Bang Beni sampai lebih dulu karena rumahnya lebih dekat daripada rumahku. Aku saat itu berjalan pulang sampai rumah sendiri. Padahal hari sudah malam, mungkin saat itu ada sedikit rasa takut terlintas pada diriku. Sampai di rumah, aku langsung gosok gigi dan pergi tidur. Bunyi jangkrik masih menemani malam itu, sehingga membuatku tertidur pulas.

Itu merupakan pengalaman pertama aku menonton sebuah drama film. Walaupun aku tak begitu ingat judul filmnya pada saat itu, setidaknya aku masih ingat momen tersebut.

Mulai memasuki tahun berikutnya, film-film yang ada diingatanku hanyalah drama komedi “Warkop DKI” yang sampai sekarang pun film itu masih ada. Warkop DKI menceritakan tiga pemuda, yaitu Dono, Kasino, dan Indro. Namun, Mas Dono dan Kasino sudah lama meninggal. Kini, tinggal Om Indro saja. Ia disebut sebagai orang yang bisa meneruskan “Warkop DKI”. Dan benar saja, setelah warkop merilis film terbaru yang berjudul, “Warkop DKI Reborn” film itu meledak dan menjadi yang terlaris dan terbanyak ditonton.

Istilah warkop sendiri berasal dari nama mata acara Radio Prambors, sebuah obrolan di warung kopi. Disebutkan juga dalam Kompas. “Warkop itu nama mata acara di Radio Prambors, obrolan di warung kopi, orang kan menyingkat saja. Gaya-gaya Medan, masuk Jakarta, (jadi) Warkop, brap itu berapa,” Jelas Indro dikutip Kompas.com, Senin (9/11/2020).

“Sampai Warung Kopi disingkat Warkop, sampai jadi grup kami,” sambung bintang film Warkop DKI.

Kebetulan hari itu ada jam tayang Warkop DKI. Aku memang sudah duduk di depan televisi. Saat itu masih ada kartun-kartun kesukaanku. Aku tak bisa ketinggalan untuk menonton kartun favorit tersebut. Tetapi, tak lama kemudian, datang rombongan yang mengajakku bermain kelereng. Aku pun menerima ajakan tersebut.

”Yan, main kelereng yoo” ujar bang Rendi dari luar rumah.

“Yannnn..... yoo main kelereng” tambah teman lainnya.

“Yaaa, tunggu bentar, masih ngambil kelerengnya.” Jawabku sambil segera mematikan televisi yang tadinya masih asyik ku tonton. Niatku nanti akan ku sambung dengan menonton film “Warkop DKI” tadi.

Saat bermain kelereng, aku tak selalu kalah dalam permainan. Walaupun aku yang paling kecil di sana, tetapi aku juga bisa menang berkali-kali.

Setelah selesai bermain, aku masuk ke rumah untuk bersiap nonton film tadi. Saat itu film yang tayang judulnya Setan Kredit (1981). Menceritakan Dono, Kasino, dan Indro yang mendengarkan berita kehilangan seorang anak. Saat itu mereka mendengarkan berita melalui radio. Bagi yang menemukan anak tersebut, mereka akan mendapatkan hadiah. Mereka pun tertarik dengan hadiah yang ditawarkan. Kemudian mereka mendatangi sebuah tempat yang bisa memberikan petunjuk, tempatnya di sebuah hutan. Saat di sana, penunggu hutan meminta syarat kepada ketiganya tadi untuk mendatangkan orang – orang yang mau menerima kredit. Setelah mendapatkan orang – orang yang dimaksud, mereka menagih janji untuk mendapatkan petunjuk, tetapi mereka tidak mendapatkan apa – apa hingga diketahui bahwa berita yang mereka dengar hanya sebuah kesalahan. Karena sang anak ternyata tidak hilang, ia hanya bersembunyi.

Bagiku, film Warkop DKI tak pernah gagal dalam menghibur penontonnya. Dulu, hari – hari sering sekali di temani dengan film Warkop. Setiap pulang dari sekolah biasanya film tersebut sudah tayang. Warkop DKI menjadi film favoritku dan banyak orang, bahkan hingga kini.

Tak lama setelah aku nonton, tiba – tiba bang Beni datang ke rumah, rupanya ia hendak mengajakku mandi ke sungai. Kami biasa mandi ke sungai karena dulu untuk air di sumur sangat susah, hanya digunakan untuk air minum, itu pun jarang.

“Yan, mandi yoo, ke sungai” sapa bang Beni mengajakku.

“Yoo bang, ngambil handuk dulu.” Sahutku dengan bergairah.

Setelah itu kami langsung bergegas ke sungai. Kemudian, kami pulang karena hari sudah sore...

Tak terasa, kini aku sudah masuk ke SMP, tepatnya di SMPN 1 Simpang Teritip. Tiga tahun cukup bagiku untuk menyelesaikan pendidikan. Waktu SMP, aku tak begitu ingat tentang drama film apa yang pernah ku tonton. Sepertinya pada masa itu tak ada film yang berkesan, sehingga aku pun sulit untuk mengingatnya. Yang tak pernah hilang diingatan hanya film Warkop DKI.

“O iyaa, waktu SMP dulu ada film Warkop DKI Reborn” ucapku dalam hati.

Warkop DKI Reborn merupakan gabungan dari semua judul Warkop di masa lalu. Warkop DKI Reborn disajikan lebih modern dan pada saat itu berhasil merebut hati penonton Indonesia.

Saat di SMA, aku menonton sebuah drama film yang berhasil menarik minatku pada film itu, yaa, filmya Martabak Bangka yang dirilis pada 2019 lalu. Saat itu aku masih ingat bahwa sepupuku ingin mengajakku menontonnya di bioskop, tetapi saat itu aku tak sempat. Pada akhirnya aku hanya bisa menonton streaming di youtube.

Film itu menceritakan seorang pemuda bernama Jaya, ia merupakan penjual martabak, meneruskan yang dipunya Koh Acun, ia harus memutuskan untuk pergi ke Bangka, tujuannya untuk memberikan abu jenazah Koh Acun (majikannya di Jakarta). Jaya ke Bangka untuk mencari keluarga dari Koh Acun. Ia ke Bangka hanya bermodal foto Koh Acun, tanpa mengetahui alamat dari keluarga Koh Acun. Sesampainya di Bangka, ia menginap di sebuah hotel kecil di Pangkalpinang. Ia terus bertanya pada orang – orang yang ia temui, tetapi tidak ada yang tahu. Di Bangka, Jaya ditenami oleh Asep, mereka berkeliling dari satu kota ke kota lain. Sampai akhirnya Jaya dan Asep berhasil menemukan keluarga dari Koh Acun, tetapi keluarganya tak mau menerima apa yang dibawa oleh Jaya. Hal tersebut membuat Jaya kecewa karena ia sudah jauh – jauh datang dari Jakarta hanya untuk mengantarkan abu jenazah Koh Acun sebagai bentuk penghormatan terkahir oleh keluarganya di Bangka. Setelah membuka semua isi surat Koh Acun, baru lah Jaya mengetahui bahwa Koh Acun dulunya ada masalah percintaan. Hingga pada akhirnya Jaya tahu bahwa Aci yang ia temui di warung saat itu adalah kekasih lama dari Koh Acun, sehingga Jaya meletakkan abu jenazah Koh Acun di warung tersebut. Abu jenazah itu pun diambil oleh Aci dan pada akhirnya keluarga dari Koh Acun pun menerima apa yang dibawa oleh Jaya.

Setelah selesai menonton, aku pun bercerita dengan sepupuku.

“Filmnya tu ternyata cuma mengisahkan perjalanan laki – laki yang bawa abu jenazah,” ujar sepupuku.

“Gak juga kok.” Jawabku membantah hal itu.

Film Martabak Bangka bukan hanya menceritakan hal itu, tetapi lebih dari hanya mengantarkan abu jenazah saja. Ada perjuangan seorang Jaya di sana untuk kembali menghadirkan sosok dari Koh Acun yang lama meninggalkan keluarganya di Bangka.

Saat di SMA aku juga pernah melihat penampilan musikalisasi drama, saat itu melalui perlombaan class meeting kakak kelas menampilkan musikalisasi drama dengan sangat baik. Ada yang mengisahkan cerita malin kundang dengan diparodikan lawakan musik.

Dua tahun kemudian, aku di terima kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri, tepatnya di Universitas Negeri Semarang. Sebuah momen yang sampai detik ini aku masih tak menyangka akan hal itu. Hal itu bagaikan mimpi, aku seakan tak dapat bangun dari mimpi itu. Namun, sebenarnya itu bukan mimpi, hal itu adalah kenyataan yang dengan sangat bangga aku menerimanya.

Saat kuliah aku banyak belajar hal – hal baru. Walaupun keadaan yang masih pandemi, tetapi hal itu tak menyurutkan semangat kami sebagai maba pada waktu itu. Dan waktu terus berjalan, hingga kini aku dan teman-teman tiba pada semester kedua, yang mana semua pelajaran akan berganti lagi dari semester sebelumnya.

Satu mata kuliah apresiasi drama yang akan menjadi cerita lanjutan ini. Kami banyak belajar mengenai drama tentunya, yaitu kami mengapresiasi dengan membaca monolog, menonton monolog, menonton pentas drama, dan membaca lakon.

Pada akhir semester ini, kami diberi tugas akhir oleh dosen, yaitu menceritakan tentang pengalaman masing – masing pribadi tentang drama.

“Baik kawan – kawan, untuk pengganti tugas akhir kita atau UAS, kalian silahkan membuat artikel atau makalah atau dapat berupa cerpen, menceritakan pengalaman pribadi tentang hal mengapresiasi drama selama ini.” Ujar Pak Burhan, yang saat itu bertemu via google meet dengan kami.

Mendapat tugas tersebut membuat kami akan bercerita tentunya, yaitu tentang pengalaman kami. Saya menuangkannya dalam sebuah cerpen karena saya dapat bercerita di sini, berbeda halnya dengan artikel atau makalah, di sana bahasa yang digunakan harus formal dan itu tentu akan sedikit menyulitkan.

Saat belajar mata kuliah apresiasi drama, saya sudah membaca lakon “Bila Malam Bertambah Malam” karya Putu Wijaya. Lakon itu menceritakan tentang perbedaan kasta. Gusti Biang sangat benci pada Nyoman. Nyoman yang saat itu sangat perhatian dengan Gusti Biang justru dituduh yang macam – macam oleh Gusti Biang, padahal niatnya hanya ingin memberinya obat. Setelah terjadi perdebatan antara keduanya, Nyoman akhirnya pergi dari sana. Setelah Nyoman pergi, Wayan hendak ikut pergi juga karena sudah tidak tahan lagi dengan sikap Gusti Biang yang berkata kasar. Akhrinya Wayan pun ikut pergi menyusul Nyoman. Di saat semua orang meninggalkan Gusti Biang, Ngurah (putra Gusti Biang) datang, ia datang hendak meminta restu kepada Gusti Biang karena ia akan menikahi Nyoman. Tetapi, pada awalnya Gusti Biang menolak keras akan hal tersebut, menurutnya Ngurah dan Nyoman itu berbeda kasta, Ngurah hanya pantas untuk Sagung Rai, tetapi Ngurah tidak mau. Ia tetap ingin menikahi Nyoman. Kemudian datang kembali Wayan ke tempat itu, di sana wayan menceritakan semua yang pernah terjadi. Dari cerita Wayan tersebut membuat Gusti Biang malu. Kemudian ia akan merestui hubungan Ngurah dan Nyoman. Ngurah pun pergi untuk mencari Nyoman. Gusti Biang tidak akan membeda-bedakan lagi secara kasta atau apa pun. Gusti Biang sangat malu saat itu. Menurut Wayan, Ngurah sudah pantas untuk tahu akan apa yang sebenarnya terjadi. Agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi.

Tentu saja dari cerita itu kita dapat mengambil pelajaran, bahwa membeda – bedakan itu tidaklah baik.

Dari cerita Nyoman, kita beralih ke pentas drama Kethoprak Ringkes Sam Pek Eng Tai. Pentas drama tersebut menceritakan tentang perempuan bernama Eng Tai yang ingin sekali sekolah, tetapi keinginannya itu dihalangi oleh ayahnya sendiri. Hingga pada akhirnya ia menyamar jadi laki – laki untuk dapat sekolah, sayangnya diakhir cerita penyamaran Eng Tai itu terbongkar dan ia dikeluarkan dari sana.

Dari cerita pentas drama tersebut, kita dapat mengetahui bahwa perjuangan perempuan untuk menyamai derajatnya dengan laki – laki itu sangat berat. Mereka harus melakukan berbagai cara untuk dapat meraih keinginan mereka.

Selanjutnya, kami ditugaskan untuk membaca monolog. Monolog yang saya baca pada saat itu tentang “Marsinah Menggugat”, yang menceritakan niat baik dari Marsinah itu justru dibalas dengan tidak pantas. Marsinah diperlakukan dengan suatu hal yang sama sekali tak pantas untuk ditiru. Kesan saya setelah membaca juga begitu kalang kabut, tak bisa terbayangkan jika hal tersebut terjadi pada keluarga saya atau orang – orang terdekat saya.

Dari banyak cerita tentang pengalaman saya, yang terpenting bagi saya adalah bagaimana cara kita untuk menghargai karya tersebut, dengan apapun kita menghargainya. Karena banyaknya karya di Indonesia tak akan maju jika bukan kita sebagai masyarakat yang ikut menghargainya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Desa Air Nyatoh dengan Seribu Bagan